Kebudayaan Atambua : Rumah Adat dan Kain Tais

Indonesia memang memiliki banyak kebudayaan karena di setiap daerah pasti memiliki kebudayaannya sendiri, bahkan dalam lingkup suatu daerah pada sebuah lingkup kelurahan pun masih memiliki beberapa perbedaan kebudayaan. Mungkin saya akan bercerita sedikit tentang kebudayaan di Atambua Selatan Nusa Tenggara Barat.

KKN PPM UGM antar semester tahun 2014 saya sengaja mengambil tempat di sebelah timur Indonesia, yaitu di NTT tepatnya di Atambua Selatan kelurahan Fatukbot. Kami bertempat tinggal di Lingkungan Asuulun, sebuah lingkungan yang sedikit mistis karena di sini masih banyak orang yang belajar ilmu hitam, begitu cerita mama pondokan tempat kami tinggal. Orang dengan kekuatan supranatural bisa memakan orang dan bisa terbang katanya. Dan lebih gilanya lagi hal seperti ini lebih banyak terjadi pada Lingkungan Nufuak tempat subunit saya mengabdi. 

Lingkungan Nufuak dengan mayoritas suku Kemak dimana suku ini paling primitif, (setelah saya kesana ngga primitif  kok, mereka normal seperti kebanyakan orang) maksudnya primitif mungkin karena masyarakat lingkungan ini paling kuat pengaruuh kemistisannya dibandingkan lingkungan lainnya di kelurahan Fatukbot

Rumah Adat


rumah adat suku Kemak di lingkungan Nufuak

Di Asuulun sendiri ternyata di RT 10 masih ada rumah adat suku Manehat (Manehat berarti 4 laki laki). Pembuatan rumah adat rata-rata sama untuk setiap suku, yaitu dengan upacara yang dilakukan selama kurang lebih 3 hari dengan biaya yang lumayan besar dari setiap anggota sukunya, selain itu bisa juga berupa sumbangan hewan ternak. 

Rumah adat ini berfungsi sebagai benteng perlindungan bagi suku saat berperang pada zaman dahulu. Namun sekarang lebih berfungsi sebagai tempat berobat dan menaruh benda keramat seperti keris sehingga tempat ini benar-benar dikeramatkan. Saya nggak sempet liat rumah adat di Asuulun yang katanya sudah menggunakan beton dalam pembuatannya. Saya Cuma dapet lihat rumah adat di Lingkungan Nufuak yang terlihat seperti rumah gubuk gitu.

Kain Tais


kain tais yang baru aja ditenun

Kain tenun tais dibuat dengan mesin tenun tradisional yang terbuat dari kayu dan bambu. Kain berukuran selendang bisa dikerjakan hingga 2 minggu namun jika berupa kain yang lebar bisa mencapai 1-2 bulan tergantung besarnya kain yang diinginkan. Dahulu pewarna kain menggunakan pewarna alami yang mereka dapatkan dari hutan, berupa daun daunan atau akar yang ditumbuk halus dan sarinya digunakan sebagai pewarna. 

Proses pembuatan benang juga rumit karena menggunakan benang dari pohon yang kemudian direndam dalam lumpur berkali-kali sehingga didapat benang yang kuat, kemudian direndam dalam cairan pewarna, dijemur dan ketika kering langsung ditenun. Namun karena waktu yang digunakan menjadi terlalu lama maka untuk sekarang hanya menggunakan benang jadi dengan warna yang beragam, sehingga benang sudah siap tenun, namun untuk menenun masih menggunakan alat tenun tradisional hasil buatan sendiri. 

Untuk saat ini jumlah penenun sudah sangat menurun karena kebanyakan warga lebih memilih bekerja sebagai petani dimana penghasilannya lebih pasti ketimbang kain tenun yang jarang dminati. Ini masalah pemasaran yang kurang, karena keterbatasan koneksi dari masyarakat sekitar juga. Tapi di Nufuak ada penenun yang sudah memasarkan kainnya hingga ke Bali dengan harga mencapai 2 atau 3 kali lipat dari harga lokalnya, padahal kalo aku bisa sih kubeli banyak aja ntar pas aku pulang ke Bali kujual lagi aja hhe. 

Nilai ekonomi kain ini bias bertambah dengan dibuatnya aksesoris turunan seperti tas, dompet dan lain lain seperti yang kebanyakan dijual di Kupang dimana di Kupang nilai dari kain ini bisa dua kali lipat harga aslinya apalagi yang udah jadi barang gitu. Setiap suku mempunyai corak yang berbeda dan dominansi warna yang berbeda sehingga ini menjadi ciri khas kain setiap suku di Kelurahan Fatukbot.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Novel – Lolita by Vladimir Nobokov

How To Be A Lucky Man?