Cerpen : Pilih Jalanmu
Cerpen ini kemarin kubuat spesial buat majalah di kampusku fakultas kehutanan ugm, “Foresta”
Aku mendekati bapak itu dan menegurnya, “maaf pak,ini tempat umum. Bisakah bapak jangan merokok di tempat ini?” tegasku.
“Heh siapa kamu berani melarang saya. Memangnya terminal ini punya nenek moyangmu hah !” bapak itu menjawab dengan nada agak tinggi membuat nyaliku mulai menciut.
“Bapak kok egois gini sih !nggak liat orang banyak itu bisa sakit semua cuma gara-gara rokok bapak ini. Belum lagi asapnya itu bisa mencemari lingkungan pak!” Kali ini aku agak kesal juga dengan bapak ini, dibilangin kok ya ngeyel gini.
“Sok sekali ya kamu bicara soal lingkungan, kepentingan orang banyak. Kamu pikir kamu sudah peduli lingkungan? peduli masalah orang banyak?”
Bapak itu menjauh dariku. Mungkin dia malu. Aku terdiam mengingat perkataan terakhir bapak tersebut. Apa aku masih pantas disebut sebagai seorang yang peduli lingkungan setelah aku pergi dengan egoisnya meninggalkan Endra dan masyarakat desa itu hanya demi menyelesaikan praktikumku yang terancam tidak lulus dan mengulang semester berikutnya.
Liburan semester empat ini aku sudah berjanji menghabiskan waktu dua mingguku dari total libur dua bulanku untuk membantu Endra melancarkan kegiatan sosial di sebuah desa di Bali bersama keenam temannya, Raka, Novi, Dika, Dita, Indra dan Ari. Beginilah Endra, dia memiliki jiwa sosial yang tinggi, hal inilah yang membuatku semakin mengaguminya. Mereka sudah melakukan survey terhadap tempat ini beberapa minggu yang lalu. Persiapan alat dan lainnya sudah lengkap. Dan kami sudah me-list apa saja kegiatan yang akan kami lakukan disana.
Hari pertama kami melakukan sosialiasi kepada masyarakat sekitar akan pentingnya menjaga keutuhan lingkungan terutama kelestarian hutan. Kami mendapatkan sambutan yang baik disini. Di pinggiran desa ini terdapat hutan yang hampir gundul akibat penebangan liar. Disamping itu penduduk sekitar juga kadangkala melakukan penebangan meski dalam skala kecil untuk memenuhi kebutuhan pribadi mereka. Karena tidak adanya pengelolaan yang intensif maka lambat laun terjadi kerusakan hutan yang berujung pada permasalahan ekonomi bagi masyarakat sekitar karena kehilangan mata pencahariannya dari hutan dan berdampak pada kemiskinan. Sedangkan pemerintah seakan akan tidak peduli terhadap nasib dan hutan mereka.
Setelah bersantap malam,kami bertujuh berdiskusi untuk membahas kelanjutn program kita.”Fin, kamu anak kehutanan kan, jadi kamu paham dong teknik-teknik penanaman yang bener?” pertanyaan Raka memulai diskusi kita. Ya Tuhan aku ga nyangka kalo akhirnya aku akan menggunakan ilmuku sedalam ini.“Hmmm,iya tapi belum jago-jago banget sih, hehe” sedikit nyesel kalo lagi praktikum ga begitu merhatiin coas. Sedih.
“Asiik, ga rugi aku ngajak kamu Fin, bisa diandelin” Endra memujiku dan menghadiahiku sebuah senyuman yang manis.” Yaudah fix berati yah. Besok kamu yang sosialisasi teknik penanamannya Fin” tambah Novi.
“Iya beres bos-bos sekalian….”
Kami sepakat untuk melakukan penanaman kembali pada areal yang terdegradasi. Berbekal pengetahuan terbatasku aku telah menentukan tanaman yang cocok untuk daerah ini beserta teknik dan sistem penanamannya. Aku juga mengajarkan cara ber-Agroforestry kepada mereka agar lahan hutan bisa digunakan secara optimal.
Selain itu kami juga mengajarkan beberap alternatif usaha kecil berupa kerajinan kepada mereka. Hitung-hitung untuk menambah penghasilan mereka. Pada waktu lenggang kami mengajar anak anak sekitar belajar membaca dan menulis serta tambahan pelajaran lainnya. Yah beberapa anak disini terpaksa harus putus sekolah atau bahkan tidak bersekolah demi membantu orang tua mereka. Disamping itu susahnya akses jalan untuk menuju sekolah mereka membuat mereka enggan untuk bersekolah. Aku sangat menyayangkan hal ini,dimana pembangunan benar-benar sangat tidak merata pada daerah seperti ini.
Aku sangat suka memberi dongeng di akhir pelajaran kita. Cerita hasil karanganku sendiri. Mereka, malaikat-malaikat kecil yang bersayap rapuh. Mendekatlah peri-peri kecil. Biar kubantu menguatkan sayap kalian dan akan kuajari cara terbang pada kalian.
Hari kelima…
Ponselku berdering, satu sms dari Alya,”Fin, lo dimana? buruan balik Jogja !praktikum kita dapet TL, kalo dua minggu ini ga kita urus berarti kita ngulang semester depan…” Tanpa pikir panjang aku langsung mengemas barangku,lalu mencari Endra untuk berpamitan.
“Kamu seriusan mau balik Fin? trus gimana plan kita. Semainya bakal dateng seminggu lagi dan diantara kita cuma kamu yang tau teknik yang bener"
“Ndra, kamu tinggal kasi lobang di tanah dan masukin bibitnya, udah beres. Kalian pasti bisa” aku meyakinkan Endra. Dari rumah di seberng kulihat Ayu,bocah berusia 5 tahun mendekatiku, “Kak Fina mau kemana? kok tasnya dibawa?”
Sebenernya aku ga tega ninggalin malaikat kecilku yang satu ini. Dia anak didik kesayanganku. “Kakak mau pergi sebentar sayang” jawabku. Mata beningnya terlihat jelas di hadapanku, “Kemana?sebentar kan? nanti kesini lagi kan” tanyanya penuh harap.
“Iya” jawabku. Seulas senyuman muncul di bibir kecilnya,“Janji ya kak”
“Fin kamu tega ninggalin mereka? ngegantungin masyarakat sini dengan harapan-harapan kamu?Ngebiarin program penanaman kita gagal? Kamu ga peduli?” Endra memecah pembicaraan.
“Ndra, itu bukan urusanku. Seharusnya pemerintah yang peka sama masalah mereka. Kita susah-susah gini tapi mungkin sekarang mereka lagi enak-enakan tidur di kasur di apartemen mewah sambil nonton tv. Aku juga punya urusan Ndra, kuliahku, aku peduli sama masa depanku, orang tuaku. Ini tanggung jawabku juga Ndra. Kamu ngerti kan?”
“Yaudah kalo itu memang pilihan kamu Fin, terserah kamu” Endra pasrah pada keputusanku.
Akhirnya kuputuskan untuk kembali ke Desa itu. Aku membatalkan tiket keberangkatanku hari ini dan langsung menuju Desa dengan menggunakan angkutan umum. Sampai di perbatasan menuju Desa aku dijemput Endra yang sebelumnya sudah kuberi tahu jika aku akan kembali.”Dasar labil, buruan turun keburu berubah pikiran lagi!” Endra menyambutku. Dengan segera aku turun dan membayar. ”Ngapain balik lagi Fin?”
“Iya Ndra, kamu pernah bilang kan, sebaik baiknya orang adalah dia yang memiliki sikap bahkan untuk seburuk-buruknya pilihan yang dia ambil. Dia yang mampu memilih apa yang terbaik dan pantas untuk dirinya. Bukan dia yang terombang ambing diantara pilihan itu dan akhirnya memilih pilihan yang menyakitkan atau bahkan tidak memlih sama sekali. Aku bener kan Ndra? Oh iya, lagian menanam bukan sekedar gali lubang dan nanem bibit loh ada teknik rahasianya. Masalah praktikum yah masih bisa semester depan lah. Dan lagi kayaknya aku masih kangen sama temen ku yang paling ganteng satu ini hehe..” Kami berdua tertawa bersama dan berjalan menuju rumah warga tempat kami tinggal.
***
Sesosok pria tinggi, berkulit sawo matang dengan rambut hitamnya
yang berombak sedang duduk sendiri di kursi ruang tunggu di sebuah
terminal. Wajahnya dingin tanpa ekspresi. Dihisapnya rokok perlahan-lahan dan menghembuskannya ke udara. Terlihat asap mengepul di
hadapannya kemudian menyebar terbawa angin.Aku mendekati bapak itu dan menegurnya, “maaf pak,ini tempat umum. Bisakah bapak jangan merokok di tempat ini?” tegasku.
“Heh siapa kamu berani melarang saya. Memangnya terminal ini punya nenek moyangmu hah !” bapak itu menjawab dengan nada agak tinggi membuat nyaliku mulai menciut.
“Bapak kok egois gini sih !nggak liat orang banyak itu bisa sakit semua cuma gara-gara rokok bapak ini. Belum lagi asapnya itu bisa mencemari lingkungan pak!” Kali ini aku agak kesal juga dengan bapak ini, dibilangin kok ya ngeyel gini.
“Sok sekali ya kamu bicara soal lingkungan, kepentingan orang banyak. Kamu pikir kamu sudah peduli lingkungan? peduli masalah orang banyak?”
Bapak itu menjauh dariku. Mungkin dia malu. Aku terdiam mengingat perkataan terakhir bapak tersebut. Apa aku masih pantas disebut sebagai seorang yang peduli lingkungan setelah aku pergi dengan egoisnya meninggalkan Endra dan masyarakat desa itu hanya demi menyelesaikan praktikumku yang terancam tidak lulus dan mengulang semester berikutnya.
***
Aku Fina Putri. Aku dan Endra sudah berteman semenjak TK dan kebetulan
ibuku dan ibunya teman dekat sehingga kami selalu disekolahkan pada
sekolah yang sama. Hingga akhirnya aku dikuliahkan pada fakultas
kehutanan di sebuah perguruan tinggi di Jogja sementara dia tetap di
Bali melanjutkan studinya pada jurusan ekonomi.Liburan semester empat ini aku sudah berjanji menghabiskan waktu dua mingguku dari total libur dua bulanku untuk membantu Endra melancarkan kegiatan sosial di sebuah desa di Bali bersama keenam temannya, Raka, Novi, Dika, Dita, Indra dan Ari. Beginilah Endra, dia memiliki jiwa sosial yang tinggi, hal inilah yang membuatku semakin mengaguminya. Mereka sudah melakukan survey terhadap tempat ini beberapa minggu yang lalu. Persiapan alat dan lainnya sudah lengkap. Dan kami sudah me-list apa saja kegiatan yang akan kami lakukan disana.
Hari pertama kami melakukan sosialiasi kepada masyarakat sekitar akan pentingnya menjaga keutuhan lingkungan terutama kelestarian hutan. Kami mendapatkan sambutan yang baik disini. Di pinggiran desa ini terdapat hutan yang hampir gundul akibat penebangan liar. Disamping itu penduduk sekitar juga kadangkala melakukan penebangan meski dalam skala kecil untuk memenuhi kebutuhan pribadi mereka. Karena tidak adanya pengelolaan yang intensif maka lambat laun terjadi kerusakan hutan yang berujung pada permasalahan ekonomi bagi masyarakat sekitar karena kehilangan mata pencahariannya dari hutan dan berdampak pada kemiskinan. Sedangkan pemerintah seakan akan tidak peduli terhadap nasib dan hutan mereka.
Setelah bersantap malam,kami bertujuh berdiskusi untuk membahas kelanjutn program kita.”Fin, kamu anak kehutanan kan, jadi kamu paham dong teknik-teknik penanaman yang bener?” pertanyaan Raka memulai diskusi kita. Ya Tuhan aku ga nyangka kalo akhirnya aku akan menggunakan ilmuku sedalam ini.“Hmmm,iya tapi belum jago-jago banget sih, hehe” sedikit nyesel kalo lagi praktikum ga begitu merhatiin coas. Sedih.
“Asiik, ga rugi aku ngajak kamu Fin, bisa diandelin” Endra memujiku dan menghadiahiku sebuah senyuman yang manis.” Yaudah fix berati yah. Besok kamu yang sosialisasi teknik penanamannya Fin” tambah Novi.
“Iya beres bos-bos sekalian….”
Kami sepakat untuk melakukan penanaman kembali pada areal yang terdegradasi. Berbekal pengetahuan terbatasku aku telah menentukan tanaman yang cocok untuk daerah ini beserta teknik dan sistem penanamannya. Aku juga mengajarkan cara ber-Agroforestry kepada mereka agar lahan hutan bisa digunakan secara optimal.
Selain itu kami juga mengajarkan beberap alternatif usaha kecil berupa kerajinan kepada mereka. Hitung-hitung untuk menambah penghasilan mereka. Pada waktu lenggang kami mengajar anak anak sekitar belajar membaca dan menulis serta tambahan pelajaran lainnya. Yah beberapa anak disini terpaksa harus putus sekolah atau bahkan tidak bersekolah demi membantu orang tua mereka. Disamping itu susahnya akses jalan untuk menuju sekolah mereka membuat mereka enggan untuk bersekolah. Aku sangat menyayangkan hal ini,dimana pembangunan benar-benar sangat tidak merata pada daerah seperti ini.
Aku sangat suka memberi dongeng di akhir pelajaran kita. Cerita hasil karanganku sendiri. Mereka, malaikat-malaikat kecil yang bersayap rapuh. Mendekatlah peri-peri kecil. Biar kubantu menguatkan sayap kalian dan akan kuajari cara terbang pada kalian.
Hari kelima…
Ponselku berdering, satu sms dari Alya,”Fin, lo dimana? buruan balik Jogja !praktikum kita dapet TL, kalo dua minggu ini ga kita urus berarti kita ngulang semester depan…” Tanpa pikir panjang aku langsung mengemas barangku,lalu mencari Endra untuk berpamitan.
“Kamu seriusan mau balik Fin? trus gimana plan kita. Semainya bakal dateng seminggu lagi dan diantara kita cuma kamu yang tau teknik yang bener"
“Ndra, kamu tinggal kasi lobang di tanah dan masukin bibitnya, udah beres. Kalian pasti bisa” aku meyakinkan Endra. Dari rumah di seberng kulihat Ayu,bocah berusia 5 tahun mendekatiku, “Kak Fina mau kemana? kok tasnya dibawa?”
Sebenernya aku ga tega ninggalin malaikat kecilku yang satu ini. Dia anak didik kesayanganku. “Kakak mau pergi sebentar sayang” jawabku. Mata beningnya terlihat jelas di hadapanku, “Kemana?sebentar kan? nanti kesini lagi kan” tanyanya penuh harap.
“Iya” jawabku. Seulas senyuman muncul di bibir kecilnya,“Janji ya kak”
“Fin kamu tega ninggalin mereka? ngegantungin masyarakat sini dengan harapan-harapan kamu?Ngebiarin program penanaman kita gagal? Kamu ga peduli?” Endra memecah pembicaraan.
“Ndra, itu bukan urusanku. Seharusnya pemerintah yang peka sama masalah mereka. Kita susah-susah gini tapi mungkin sekarang mereka lagi enak-enakan tidur di kasur di apartemen mewah sambil nonton tv. Aku juga punya urusan Ndra, kuliahku, aku peduli sama masa depanku, orang tuaku. Ini tanggung jawabku juga Ndra. Kamu ngerti kan?”
“Yaudah kalo itu memang pilihan kamu Fin, terserah kamu” Endra pasrah pada keputusanku.
***
Kemarin aku benar-benar panik dan bingung. Bukannya aku sudah janji
dengan Endra bakal bantu dia sampe selesai, tapi akhirnya aku malah
ngecewain dia. Kira-kira Endra marah ga ya sama aku?atau dia ga mau lagi temenan sama akau? Aku semakin bingung, ah ini setara konflik batin.Akhirnya kuputuskan untuk kembali ke Desa itu. Aku membatalkan tiket keberangkatanku hari ini dan langsung menuju Desa dengan menggunakan angkutan umum. Sampai di perbatasan menuju Desa aku dijemput Endra yang sebelumnya sudah kuberi tahu jika aku akan kembali.”Dasar labil, buruan turun keburu berubah pikiran lagi!” Endra menyambutku. Dengan segera aku turun dan membayar. ”Ngapain balik lagi Fin?”
“Iya Ndra, kamu pernah bilang kan, sebaik baiknya orang adalah dia yang memiliki sikap bahkan untuk seburuk-buruknya pilihan yang dia ambil. Dia yang mampu memilih apa yang terbaik dan pantas untuk dirinya. Bukan dia yang terombang ambing diantara pilihan itu dan akhirnya memilih pilihan yang menyakitkan atau bahkan tidak memlih sama sekali. Aku bener kan Ndra? Oh iya, lagian menanam bukan sekedar gali lubang dan nanem bibit loh ada teknik rahasianya. Masalah praktikum yah masih bisa semester depan lah. Dan lagi kayaknya aku masih kangen sama temen ku yang paling ganteng satu ini hehe..” Kami berdua tertawa bersama dan berjalan menuju rumah warga tempat kami tinggal.
***
Sejatinya seorang rimbawan adalah bukan sekedar nilai IP yang
cumlaude setiap semesternya, bukan dia yang selalu duduk manis
mendengarkan dosen berceramah. Kelas belum cukup mampu untuk
mengembangkan kreativitas kita. Tapi bagaimana kita mampu mengaplikasikan
apa yang kita dapat dari sebuah pendidikan itu sendiri dan
mengembangkan serta menerapkannya di masyarakat serta bermanfaat untuk
orang banyak.
Komentar
Posting Komentar