Cerpen: Oh My


Hari ini merupakan hari pertamaku di kelas XI. Seharusnya ini menjadi hari yang menyenangkan bagiku, tetapi setelah melihat papan pengumuman pembagian kelas, semangatku yang menggebu menjadi hilang. Bagaimana tidak, aku yang dulunya siswi kelas XA yang merupakan kelas unggulan mendapatkan kelas XI PSIA 5 yang merupakan kelas jurusan IPA paling akhir. Menurut rumor kelas ini diisi oleh siswa yang nakal dan dengan kemampuan akademik menengah kebawah. Selain itu aku tidak sekelas dengan Adit yang merupakan anak Kepala Sekolah. Dia itu pintar sehingga mendapatkan kelas unggulan PSIA 1.

 Posisi duduk berdasarkan urutan ranking dikelas yang tertempel dipapan pengumuman tadi. Aku duduk di meja depan, yah di kelas ini aku mendapatkan urutan ranking 5 dan teman dudukku adalah anak cowok dari kelas XF dulunya. Namanya Dani Putra Pragiwaksono. Aku tidak kenal anak ini, tapi semoga saja dia orang yang bersahabat.

 “Tiara Kartikasari Dewi.” Aku mengangkat. tanganku ketika diabsen. Ini adalah hari ketiga aku duduk seorang diri. Dani izin karena sedang sakit. Aku jadi semakin penasaran dengan teman sebangkuku ini. Kata Shika dia itu ganteng tapi agak nakal, yah tidak masalah sih kalau dia nakal yang penting bisa diajak berteman dan berkompromi. “Baik anak-anak, buka halaman 3 buku paket kalian, disana ada tugas kelompok, nah kalian buat kelompok yang terdiri dari 5 orang, minggu depan kalian persentasikan, dan maaf hari ini bapak tinggal karena ada rapat. Jadi kalian bisa mengerjakannya sekarang. Selamat pagi.” Pak Giwo berjalan meninggalkan kelas.

Ada yang menepuk pundakku dari belakang, aku menoleh kearahnya, “Ra kita satu kelompok ya.” Naira mengajakku untuk bergabung dengan kelompknya, tentu saja aku tidak menolak, kita sudah menjadi teman dekat. “Oke siaaap!” Aku menoleh kearah meja di sebelahku yang kosong, kira-kira Dani dapat kelompok tidak ya? Ah apa peduliku, hahaha.

Hari ini aku terlambat lagi, pintu gerbang tidak ditutup namun seperti biasanya ada tim PKS yang berjaga dan siap mencatat siapa saja yang terlambat. Kalau dulu saat aku kelas satu aku merupakan langganan sebagai siswi terlambat dan akhirnya dihukum lari keliling lapangan upacara sebanyak 3 kali. Karena aku sudah hafal situasi ini maka aku turun dari angkutan umum jauh dari gerbang utama sekolah. Aku berjalan menyusuri gang sempit disebelah gedung sekolahku yang berbatasan langsung dengan ruang guru. Jalanan ini mengarah menuju parkiran belakang sekolah, setelah melewati kantin luar maka ada gerbang besar yang merupakan pintu masuk belakang sekolah.

Biasanya setelah melewati area lapangan basket dan deretan kelas-kelas, aku akan menunggu hingga kegiatan di lapangan selesai di UKS, kemudian berhamburan bersamaan dengan siswa lainnya menuju kelas. Tapi hari ini ada yang berbeda, pintu gerbang belakang sekolah dijaga 4 orang PKS dan salah satunya adalah Adit. Oh astaga, betapa malunya aku, mau ditaruh dimana mukaku, lagi-lagi aku terlambat. Padahal di kelas XI ini aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak terlambat lagi atau setidaknya terlambat namun tidak ketahuan.

Kulihat ada 4 anak laki-laki yang familiar bagiku. Mereka dulu juga sering terlambat sepertiku namun aku tidak tahu nama mereka. Mereka memiliki tampang tengil, salah satunya mempunyai style seragam yang agak berantakan dan rambut jabrik, namun ia terlihat keren dimataku mungkin karena tampangnya yang lumayan tampan. Selain itu ada 3 orang siswi yang aku juga tidak kenal siapa mereka.

“Ra kamu terlambat lagi, hmm.” Adit menoleh ke arahku. Aku menghampirinya dan menundukkan kepalaku seraya menggumamkan namaku, namun gumamanku terpotong olehnya  “Tiara Kartikasari Dewi. Kelas XI PSIA 5. NIS 318693.” Aku mendongakkan kepalaku ke arahnya. Oh ya ampun, dia sampai ingat identitasku dan tahu kelas baruku. Sesering itukah aku terlambat? Betapa malunya aku. Aku hanya bisa nyengir “hehehe…”

Seperti biasanya kami mendapat ceramah singkat dari Wakasek Kesiswaan dan berlari mengelilingi lapangan upacara. Pandanganku sesekali menuju pada anak laki-laki jabrik tadi, semakin lama kulihat ternyata dia boleh juga.

Aku tersenyum melihat tas hitam tergeletak di meja sebelahku saat memasuku ruang kelasku, ini berarti anak yang bernama Dani itu sudah sehat dan bersekolah hari ini. Pintu kelas dibuka dan masuklah guru Biologi yang terkenal killer seantero sekolah ini. Disusul oleh seorang anak lelaki tepat dibelakangnya yang berjalan dengan hati-hati menuju mejaku. Oh astaga, dia anak yang tadi pagi kuperhatikan itu. Ketika dia duduk dikursinya, aku memberanikan diri menyapanya sekedar berbasa-basi “Hai, kita sebangku, hmm… kau hebat bisa masuk ke kelas mengendap seperti tadi tanpa ketahuan, ahahaha..”

Dia menoleh kearahku dengan tatapan mengintimidasi, “Maksudmu aku sangat berbakat sebagai maling? Hm?”

“Yah, hahaha.. kau yang mengatakannya sendiri, kurasa suatu saat kau akan menjadi perampok yang handal.” Dia membalas candaanku dengan tawa yang renyah dan senyum lebarnya. “Hei, hei, tertawamu terlalu berisik, kau mau memancing monster di depan itu untuk mengamuk hah?” Dia malah semakin melebarkan senyumnya, senyum lima jari yang memperlihatkan gigi-gigi putihnya namun dengan suara tawa yang diredam. “Apa maksudnya itu, kau mau pamer kalau kau rajin gosok gigi, hah?”

BRAK!!

Mejaku digebrak menggunakan buku paket yang tebalnya mencapai sekitar 100 halaman itu oleh Pak Kirno, sontak aku dan Dani terkejut dan memalingkan wajah kami kedepan menuju asal suara, “ Kalian kalau mau mengobrol lebih baik tidak usah mengikuti pelajaran saya!” Aku menunduk malu dan takut. Sangat takut.

“Saya boleh keluar tidak mengikuti pelajaran Bapak? Baiklah, terimakasih banyak Pak.” Dani berdiri dan keluar ruang kelas. Sialan anak itu, bisa-bisanya dia kabur meninggalkan aku yang ketakutan oleh amukan monster di depanku ini. Selama pelajaran berlangsung tak sedikitpun aku memalingkan perhatianku pada Pak Kirno. Aku benar-benar trauma dengan kejadian tadi.

Pegal rasanya menahan posisi duduk yang sempurna selama dua jam pelajaran, kini aku bisa merileksasikan tubuhku ketika jam istirahat ini. Dani memasuki ruang kelas dan berdiri tepat disamping kursi dudukku. Dia menarik lenganku dengan paksa, ”Aku mau nunjukkin sesuatu yang hebat, sini ikut aku!”

“Kemana? Aku lagi males gerak!” Aku menatap Dani malas.

“Haissh, ini menyangkut keamanan masa depan kita, ini rahasia yang cuma aku kasih ke teman seperjuangan seperti kau, ehm.. namamu siapa ya? kita belum sempat berkenalan?” Dani melonggarkan cengkraman tangan besarnya di lenganku.

“Aku Ara.” jawabku singkat

“Aku Dani, yaudah ayok buruan!”. Dani menarik lenganku lagi, kita berjalan menuju belakang kelas. Ya ampun, apa sih maunya bocah tengil ini. Mataku terbelalak ketika melihat ada tangga yang rencananya akan diletakkan dibelakang tembok ini. “Besok kalo telat lagi kita lewat sini aja, kita masuk lewat pintu masuk rumah sakit, kita ikutin jalur parit kecil disebelah gedung sekolah, terus sampai dibelakang tembok ini kita naik pakai tangga, trus loncat dan bisa langsung menuju kelas. Oh ya, besok kita berangkat bareng aja ya, karna aku nggak tau dimana rumahmu, makanya nanti pulang sekolah aku antar aja ya.” Hah, apa-apaan anak ini, seenaknya saja mengatur, tapi entah sihir apa yang digunakannya aku menurut saja. Ini berarti setiap hari aku dengan sengaja pergi sekolah terlambat, ugh.

Dani itu selalu saja membuatku dalam posisi yang menegangkan. Setiap hari terlambat dan masuk gedung sekolah dengan cara ekstrim, melompati tembok. Terkadang kita membolos di kantin bersama ketiga temannya, ada Ardi, Bona dan Rizky. Dia juga sering merokok diam-diam di belakang sekolah. Pernah sekali tertangkap oleh guru yang berjaga dan dia diceramahi di ruang BP. Ah anak ini sepertinya lebih sering masuk ruang BP dibanding ruang kelasnya. Dia juga usil, pernah ia meletakkan permen karet di kursi guru, kali ini Pak Kirno korbannya. Saat praktek biologi dia pernah melepaskan beberapa kodok sehingga seisi kelas menjerit ketakutan. Dia juga sering usil kepadaku, dia sering menarik rambutku, menakutiku dengan belalang, menarik tali BH-ku, menyembunyikan tasku, membajak hp-ku, dan masih banyak lagi kejahatan lainnya. Dia juga sering merepotkanku, meminjam pulpenku, meminta air minumku, mencontek PR-ku, menanyakan tugas kepadaku, lebih seringnya dia  tidak membawa buku paket sehingga terpaksa aku berbagi buku berdua dengannya.

Lima hari ini aku izin sekolah karena sakit. Sebelumnya kuberi tahu Dani agar tidak menjemputku. Tiga hari pertama dia menjengukku sepulang sekolah hingga sore. Dia merupakan orang yang banyak bicara dan ramah sehingga mudah berbaur dengan keluargaku, bahkan adikku yang begitu menyebalkan menyukainya. Mereka biasanya bermain PS bersama ketika Dani sedang di rumahku. “Hei, kau ini mau menjengukku atau menjenguk adikku hah?” Apa-apaan dia ini, bukannya menghiburku malah bermain bersama adikku.

“Sebenarnya sih, aku mau menghabiskan waktu bersama adikmu, dia lawan yang tangguh” Huh, jawaban apa itu, dia ini benar-benar menyebalkan.

Hari keempat Dani tidak menjengukku, bahkan dia tidak ada kabar sama sekali. Hp-nya tidak aktif. Aku mulai khawatir padanya. Hingga saat aku sembuh aku tidak menemukannya di kelas. Apa dia tertular sakitku? Akhirnya dengan menekan gengsiku aku bertanya pada Shika tentangnya.

“Hei, kau mencemaskannya ya? Bukankah kau ingin dia lenyap dari hidupmu? Oh jangan-jangan kau mulai menyukainya.” Terjadi juga yang aku takuti. Aku digoda habis-habisan oleh Shika. Tak apalah yang penting aku mendapat informasi penting. Dani diskors selama seminggu karena ketauhuan perihal tangga yang kita gunakan untuk masuk gedung sekolah saat terlambat. Bahkan dia hampir dikeluarkan dari sekolah karena saking banyaknya pelanggaran yang dibuatnya semenjak di kelas satu. Namun karena ia merupakan anak yang pintar, bahkan didaulat mengikuti olimpiade Kimia, maka ia hanya akan diskors oleh pihak sekolah. Aku tak habis fikir, bagaimana anak sepandai Dani masuk dalam kelas buangan ini.

Hari ini merupakan hari kelima masa skors Dani. Sepi rasanya tidak ada yang menjahiliku, tidak ada yang berisik, bahkan aku merindukan tindakan konyolnya, tawanya yang renyah itu dan senyumnya tentunya. Sebentar lagi jam pelajaran ketiga akan dimulai ketika hp-ku bergetar. Sms dari Dani. Katanya dia akan mengajakku ke suatu tempat saat ini juga, bahkan dia sudah menungguku di depan sekolah. Akhirnya kuputuskan untuk membolos saja dengan sopan. Aku berpura-pura sakit dan meminta surat izin di ruang guru.

Didepan kulihat Dani menungguku diatas motornya, dengan senyum lima jarinya yang mampu melelehkan hatiku. “Mau kemana?” tanyaku penasaran.

“Udah nurut aja, pegangan yang kuat kalo nggak mau jatuh!” Aku berpeganga erat pada pinggang Dani. Meskipun aku bersikap seolah-olah kesal padanya, tapi sebenarnya dalam hatiku aku merasa sangat bahagia.

Kita sampai di pantai berpasir putih dengan angin sepoi yang membuat rambut Dani terombang-ambing, membuatku terpana sejenak. Dia terlihat keren dengan kaos hitam dan celana kain selutut berwarna cokelat muda. Kami duduk di pondokan kecil dan memesan makanan. Dari sini panorama pantai dan tebing curam terlihat sangat indah. Tidak ada suara sampai makanan kami datang. Setelah pelayan pergi Dani memulai pembicaraan, aku menoleh kearahnya. Dia menatapku tajam. “Jadi langsung ke intinya aja ya Ra, aku cuma mau kamu jadi pacar aku, dan aku nggak menerima penolakan!”

Hah lelucon macam apa ini! Dia langsung menembakku begitu saja tanpa basa-basi dan perintahnya mutlak. Sebenarnya aku senang. “Heh, seenaknya aja nentuin takdir orang, emang kalo aku nolak kamu mau apa?”

“Yah aku pulang aja, aku tinggalin kamu sendirian disini dan semua makanan ini kamu yang bayar.”

“Haah cowo pemaksa!” Aku bingung, bukan bingung mau jawab apa, tapi bingung merangkai kalimat penerimaan ini bagaimana agar terkesan aku bukan wanita murahan yang langsung menerimanya. “Okelah kalo gitu aku terima, soalnya aku ngga mungkin pulang jalan kaki sendiri. TERPAKSA!! bweee..” Kujulurkan lidahku kearahnya dan kemudian tersenyum kepadanya. Dia membalas senyumanku, disusul telapak tangannya yang mengusap-usap pucuk kepalaku.


Hari ini aku bahagia sekali. Aku bisa memiliki lelaki yang selama ini mengganggu hidup, hati dan fikirankuan. Dia seperti perampok yang mencuri hatiku diam-diam. Dugaanku benar, dia memang perampok yang handal. Dan aku ingin selalu berada disisi perampok ini, menapaki jalan berliku ini bersamanya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Atambua : Rumah Adat dan Kain Tais

Resensi Novel – Lolita by Vladimir Nobokov

How To Be A Lucky Man?