Cerpen: Prison
sumber: prisonpath.com |
Chapter 1
Aku terkejut. Wajahku pucat pasi melihat secarik kertas
ungu beraroma manis bertengger di kolong mejaku. Coretan tinta hitam di
dalamnya yang membuatku tercekat.
Puisi.
Romantis.
Tapi punya siapa?
“Kamu lagi sakit Stef? Mukamu agak pucat tuh.”
Kutolehkan kepalaku ke arah suara yang menyadarkan
kediamanku. Dave berdiri tepat di sebelah kananku. Mencomot kertas itu dari
tanganku. Membacanya dan berkomentar.
“Nice poem. Kamu
yang buat?” tanyanya penasaran.
Aku menggelengkan kepalaku pelan.
“Ini kayaknya sih surat cinta.”
“Mungkin.” Jawabku singkat.
“Astaga hari gini orang kuno mana sih yang masih buat surat
untuk nembak cewek. Konyol banget.”
“Aku juga nggak tahu. Nggak ada nama pengirimnya sih.”
“Secret admirer
ha?”
“Maybe.”
“Tapi puisinya bagus juga.” puji Dave, lalu duduk di kursi
sebelahku. Dia teman sebangkuku.
Ya, memang puisi yang sangat apik. Beautiful as Eden.
Pemilihan kata yang membuat terpana bidadari-bidadari
surga. Penyampaian perasaan yang mendalam, ibarat cinta di puncak kenikmatan.
Begitu membuai. Seperti narkotika yang melayangkan fikiran. Peluapan emosi yang
sempurna.
Tapi siapa dia?
Aku mengambil puisi itu dari tangan Dave. Dia yang sangat
tak menyukai sastra pun sampai tercekat dibuatnya. Membaca bait-bait yang
memabukkan itu berulang-ulang. Sebagus itulah tulisan itu. Aku bahkan jatuh
cinta.
“Kamu penasaran nggak puisi itu siapa yang buat?”
“Of course yes.”
“Aku bantuin deh cari tahu siapa yang buat itu.”
“Gimana caranya?”
“Besok pelajaran fisika Ms. Adele kan disuruh ngumpul catatan.
Nah, sebelum ditaruh di meja guru, kucocokkan bentuk tulisan itu dengan semua
buku anak-anak di kelas ini. Nanti aku minta Kevin biar aku saja yang nganter catatan-catatan
itu ke meja Ms. Adele.”
“Kalau ternyata yang punya bukan anak kelas ini?”
“Dicoba dulu. Itu dipikir belakangan.” Dave mengeluarkan
buku pelajaran selanjutnya.
Anak-anak di kelas ini sudah mulai mengisi bangku mereka
masing-masing. Bel berbunyi sedari sepuluh menit yang lalu, dan guru pelajaran
berikutnya sangat disiplin sehingga teman-teman kelasku yang terkenal brutal
akan berubah menjadi alim seketika.
“Kalau sudah ketahuan siapa yang punya tulisan itu, kamu
mau gimanain orangnya?”
“Nggak ada. Aku cuma penasaran.”
“Kalau dia tahu kalau kamu tahu dia yang ngasih surat dan
dia tiba-tiba nembak, apa kamu mau jadi pacarnya?”
Aku memberikan atensi penuh pada Dave. Matanya menyiratkan
rasa penasran yang sangat. Terkadang, saat-saat bertukar pandang dengannya
membuatku merasa kalau dia menyukaiku. Tentu aku paham dengan segala bentuk
tatapan dari teman-temanku maupun orang yang memiliki perasaan khusus padaku.
Ini perkara feeling manusia yang
peka.
Aku bahkan sempat curiga kalau surat cinta ini darinya.
“Kita bisa temenan. Kalau dia ganteng dan aku suka aku mau
jadi paarnya. Atau kalau setelah temenan nanti aku jatuh cinta sama dia, ya aku
mau jadi pacarnyalah.”
Dave menghembuskan nafasnya kasar. “Kamu mau pacaran dengan
pecundang kuno seperti itu?”
“No problem.
Memangnya salah menyatakan cinta lewat surat?”
“Ya. Itu nggak gentle.
Laki-laki pecundang.”
Aku juga pecundang. Perempuan pecundang yang hanya bisa
menyukai seorang laki-laki nakal sepertinya secara diam-diam. Sama pecundangnya
seperti laki-laki yang sedang memberiku surat cinta sekarang ini.
“Asal dia nggak bikin surat cinta resmi yang ada kop
suratnya aja..hahahah….” candaku garing.
Entah hanya perasaanku saja atau bagaimana, saat ini Dave
menjadi agak pendiam. Biasanya dia akan berbicara banyak padaku. Membahas
hal-hal konyol, menertawakan lelucon ynag dibuatnya. Dia anak yang nakal tetapi
lembut pada teman-teman yang disayanginya.
Sekarang dia tak ayal seperti
patung es. Kaku dan terasa dingin.
***
Hari ini, seperti yang direncanakan
kemarin, aku dan Dave sedang sibuk membolak balik buku-buku catatan di meja
kelas bangku kita. Mencocokkan tulisan-tulisan dari buku catatan fisika seluruh
murid di kelasku dengan puisi cinta yang kudapatkan kemarin.
Akhirnya kita mendapatkan lima
buku catatan dengan tulisan yang mirip seperti yang kita cari. Setelah
menelitinya secara seksama, ada dua tulisan yang sama persis. Nama-nama yang
membuatku dan Dave terkejut sekaligus tak percaya.
Chapter
2
Aku Steffani Ardiantha Venusa. Murid kelas 3 SMA yang biasa
saja. tidak populer. Setiap hari belajar di sekolah, pulang ke rumah, sesekali
bermain dengan teman-temanku yang jumlahnya tidaklah banyak. Aku agak susah
dalam bergaul.
Aku pendiam. Senang membaca cerita misteri, psikologi dan filsafat,
nonton film horror yang malah membuatku ketakutan setengah mati setelah itu.
Selera fashionku payah, jadinya lebih senang menggunakan pakaian dan atribut
berwarna hitam.
Dua tahunku di sekolah ini tak sekalipun pernah pacaran.
Dan selama itu juga aku menyukai temanku Dave yang dalam analisaku selama ini
sebenarnya dia menyukaiku juga. Dia selalu sekelas denganku.
Saat ini, setelah sebulan di kelas 3, tiba-tiba saja ada
seorang misterius yang mengirimiku surat cinta. Sebenarnya aku tidak yakin itu surat
cinta, soalnya tak ada nama pengirim dan kata-kata pernyataan yang menunjukkan
kalau surat itu ditujukan padaku. Hanya sebuah puisi yang berisi tumpahan
perasaan suka yang mendalam pada si “kamu” yang sepertinya sih ditujukan
untukku. Suratnya kan ada di kolong mejaku!
“Elisa dan Marco?” ucap Dave tak percaya.
“Kalau Elisa kan perempuan. Masa dia suka sama aku sih.”
“Berarti Marco. Atau si Elisa lesbi.” Dave menatapku ngeri.
Namun setelah itu dia tertawa terbahak. Dia senang sekali menjahiliku.
“Aishh…” aku menatapnya malas. “Atau Elisa mau ngasih kamu
tapi salah masukin ke kolong mejaku.”
“Bisa juga sih.”
Pupus sudah harapanku. Kupikir ada yang menyukaiku, tapi
kalau kasusnya salah meletakkan surat cinta kan konyol. Jadi orang idiot mana
yang melakukan hal konyol ini?
“Jadi besok kita tanya Elisa dan Marco?” tanyaku sembari
menumpuk kumpulan buku-buku catatan yang berserakan di atas meja.
“Oke.”
Kita membagi buku-buku itu menjadi dua tumpukan. Satu
kubawa dan satunya lagi tanggung jawab Dave. Kita keluar kelas bersama menuju
ruang guru dan meletakkan tumpukan buku itu di atas meja kerja Ms. Adele.
Dave mengantarku pulang menggunakan motor matic merahnya. Sepanjang
jalanan fikiranku melayang seputar surat cinta misterius itu. Spekulasi tentang
pemiliknya.
Elisa adalah anak yang cantik, baik dan populer. Banyak
disukai teman-teman lainnya. Kalau memang dia pemiliknya, kurasa dia salah
meletakkannya di kolong mejaku. Seharusnya di kolong meja Dave. Tapi untuk apa
dia membuat surat? Dia tipe cewek percaya diri yang mudah bergaul dan
mengutarakan pendapatnya. Surat dan Elisa adalah perpaduan yang mustahil.
Marco satu-satunya yang kucurigai. Dia laki-laki dingin
yang cuek. Tidak banyak bicara tapi memiliki teman dan penggemar perempuan yang
banyak. Dia ganteng. Kalau memang surat itu punyanya, lalu dia menembakku, aku
mau jadiacarnya. Hahahaha..
***
Pagi ini aku tercengang melihat kertas biru beraroma manis.
Ada puisi lagi.
Puisi cinta namun isinya agak mengerikan.
Pengutaraan perasaan cinta yang mendalam. Kata mutiara yang
indah dipadukan dengan metafora agak menakutkan. Pemujaan yang berlebihan.
Cinta yang terlalu dalam.
Obsesi.
Bait yang sangat mengganjalku di bagian akhir puisi.
‘Kau matahari malamku.
Bintangku. Kekasihku.
Aku memuja seluruh indahmu
Keelokan tiada batas membebaskan
naluri biasku
Kecantikan yang mulia, hingga
mampu melepas rantai-rantai pengukung nafsu si bajingan ini
Aku selalu melihatmu.
Kau yang kuperhatikan
dalam nadi yang berlari cepat dalam diam
Kau yang kuawasi dalam
setiap hembusan nafas penuh gejolak
Kau yang harus
kumiliki’
Aku terduduk sembari memperhatikan seisi kelas yang masih
agak sepi. Hanya ada beberapa murid yang baru datang. Ini masih terlalu pagi
untuk ke sekolah. Aku memulai kegiatan piketku, menyapu kelas. Membantu tiga
temanku yang sudah sedari tadi melakukan tugas piket.
Lima menit sebelum bel berbunyi, kulihat Dave baru datang
dan menghampiri meja kita. Dia duduk dan memberikan atensinya padaku.
“Kita tanya sekarang atau pas istirahat nanti?” tanyanya.
Aku terdiam saja dan memberikan kertas biru itu padanya.
Dave membacanya cepat. Dahi dan alisnya agak mengerut.
“Tulisan dan warna kertasnya beda dari yang kemarin.”
Kataku pelan.
“Berarti beda orang?” tanyanya masih sambil membaca puisi aneh
itu.
“Kayaknya sih.”
“Ya ampun, ternyata kamu banyak yang suka Steff.” Dave
memberiku senyuman sinis. Astaga dia mengerikan sekali kalau sedang tersenyum
seperti itu. Aku lebih suka senyum lebarnya dan sifat cengengesannya. Tapi dia
tetap ganteng sih.
Dia menghembuskan nafas kasar. Memejamkan matanya sejenak
dan membuka kelopaknya dengan tatapan tajam ke depan kelas.
Dia beranjak dari kursinya masih membawa puisi cinta itu.
Berdiri di depan kelas dan mengangkat kertas biru itu tinggi.
“Perhatian sebentar.” Dengan suara lantangnya Dave membuat
seisi kelas terdiam menatap ke arahnya. “Di kelas ini apa ada yang buat puisi
dan ditaruh di kolong meja Steffi?”
Mau apa si Dave itu ha? Mana ada yang mau ngaku. Kalau
akhirnya si pengirim surat ngaku, sia-sia dia buat surat kan. Astaga, aku malu.
Aku belum terbiasa menjadi bahan perhatian.
Hal yang membuatku terbengong tak percaya adalah pengakuan
Marco yang membuat seisi kelas memberikan atensi penuh padanya.
***
“Aku tahu itu punya siapa.” Kata Marco tegas.
Kelas sepi. Kemudian terdengar sedikit suara kasak-kusuk
dan beberapa orang yang mulai ribut.
“Puisi apa sih?” tanya seorang siswi perempuan yang duduk
di bangku pojok belakang.
Dave melirikperempuan itu sekilas, kemudian meletakkan
kertas biru itu di meja guru. “Kalau mau tahu, ini baca di depan ya. Tapi jangan
sampai rusak dan kalau sudah kasih Steffi.” Dave melirikku kemudian berjalan
menuju pintu keluar dan meninggalkan kelas.
“Itu punya Dave. Itu surat Dave untuk Steffi.” Marco berujar
lantang, aku yakin seisi kelas ini mendengarnya. Kelas mulai ramai lagi.
Aku memperhatikan Marco. Apa benar yang dikatakannya? Kalau
iya, kenaa dia mengatakannya saat Dave sudah berada di luar ruangan? Seakan tak
membiarkannya untuk mendengarkan pengakuan ini. Ah, nanti akan kuberitahu hal
ini pada Dave, meskipun aku tak memberitahunya pun pasti dia akan mengetahuinya
dari teman-teman yang lainnya.
To be continued...
Komentar
Posting Komentar